Aku mengenalnya
sejak tiga tahun lalu. Satu tahun terakhir kami tinggal satu atap. Satu rumah
kontrakan tepatnya. Sebut saja namanya Saiba. Seperti nama India yaa.. J . yaa.. dia memang
sedikit alay layaknya gadis India. Secra postur dia tidak terlalu istimewa. Tingginya
biasa-biasa saja. Kulitnya cokelat mengkilat khas Indonesia timur dan tubuhnya
yang selalu tertutup hijab. Tentu saja tidak bercadar. Justru seringkali ia
berhijab mengikuti mode yang lagi in.
Saiba juga
biasa-biasa saja dari segi akademisnya. Tidak terlalu menonjol. Yang penting IP
masih aman untuk mendapat beasiswa dari direktorat kemahasiswaan. Saiba bukan
orang yang rajin belajar, bukan pula orang yang rajin beribadah. Cukup menjalankan
kewajiban. Sholat lima waktu dan seringkali tilawah sehabis magrib.
Ia juga bukan
orang yang kaya tapi cukup. Ia tidak memiliki motor seperti yang lainnya. Ia justru
sering menebeng teman termasuk aku karena kontrakan kami yang jauh. Sering makan
tidak teratur karena uang kiriman dan beasiswa yang sudah menipis. Meskipun begitu,
ia tidak pernah mengabaikan teman-temannya. Terutama yangs edang kesulitan.
Beberapa kali
aku pergi berdua dengannya. Saat itu pula aku memperhatikannya. Malam itu cukup
cerah. Tidak hujan karena sedang musim kemarau. Aku pergi berdua dengannya
untuk makan malam. Sebelum ke tempat makan, ia minta untuk mampir ke Indomaret
sebentar untuk membeli keperluan. Saat itua kau agak heran. Saiba yang biasanya
cukup hemat, membeli roti agak banyak. Padahal aku tahu, ia tidak suka ngemil. Tidak
suka begadang malam karena memang tidak banyak tugas. Tidak sepertiku J. Aku justru sering
menyimpan jajanan untuk persediaan ketika lapar di malam hari.
Selesai berbelanja,
kami menuju kedai nasi bakar kesukaan kami. Kebiasaan, kami makan sambil
mengobrol. Seperti teringat sesuatu, ia tiba-tiba memanggil abang penjual nasi
bakar.
“Bang, pesan
nasi bakar dengan lauk sperti ini ya bang.. dibungkus.” Katanya.
“Buat siapa
Saiba? Ada yang nitip?” tanyaku.
“Tidak.” Katanya
Ia lalu
menjelaskan bahwa nasi itu untuk pedagang asongan yang tadi mangkal di depan
Indomaret. Pedagang keliling yang menjajakan kerupuk dari singkong yang mungkin
sudah jarang diminati. Samiler, daerah kami menyebutnya demikian.
“aku pengen
nanya-nanya sama bapaknya sebenarnya. Tapi aku juga mau kasih nasi ini sama
ini.” Ia menunjuk jajanan yang tadi dibelinya di Indomaret.
Ooh.. aku baru
sadar, ternyata Saiba sengaja membeli makanan berlebih untuk diberikan kepada
pedagang asongan yang sepertinya kelelahan. Seharusnya aku sudah tidak heran
dengan hal itu. Saiba pernah melakukannya beberapa kali. Pernah di suatu siang
yang terik kami membeli minuman dingin di sebuah warung. Saat itu ada pedagang
es krim keliling yang juga memesan nasi. Bukan pedagang es krim bermerk yang
sering muncul di tv, tetapai pedagang es dung-dung yang gerobaknya sudah
terlihat tua dan rapuh. Tanpa sepengetahuan sang penjual es krim, Saiba
membisiki ibu penjaga warung, “biar saya saja yang bayar punya bapaknya bu..”
katanya.
Mungkin dia
pernah ngeles dengan bilang, “Aku
pengen ngobrol dengan bapaknya, tapi nggak enak kalau nggak ngasih apa-apa..”
namun sebenarnya aku tahu, Saiba hanya ingin memberi. Tidak ada pamrih di
dalamnya. Mungkin ia bukan orang yang dermawan yang suka menyumbang untuk
kegiatan-kegiatan amal. Ia juga bukan orang yang gampang untuk diminta iuran
kerena memang kondisinya pas-pasan. Tapi ia adalah orang yang peka terhadap
lingkungannya. Berhati tulus meski ia pun tidak tahu apakah ia masih bisa makan
esok hari. Tidak punya tabungan kerena memang tidak ada yang bisa ditabung. Namun
yang aku tahu, ia memiliki banyak tabungan pahala dari doa orang-orang yang
pernah secara spontan ia bayarkan makanannya. Tabungan kebahagiaan yang tidak
dimiliki orang-orang yang tidak membeli. Kebahagiaan yang ditimbulkan karena
senyum orang-orang yang ditraktirnya.
* terima kasih untuk N.A. yang sangat menginspirasiku