Rabu, 30 Desember 2015

Kebaikan Kecil yang Membawa Kebahagiaan

Aku mengenalnya sejak tiga tahun lalu. Satu tahun terakhir kami tinggal satu atap. Satu rumah kontrakan tepatnya. Sebut saja namanya Saiba. Seperti nama India yaa.. J . yaa.. dia memang sedikit alay layaknya gadis India. Secra postur dia tidak terlalu istimewa. Tingginya biasa-biasa saja. Kulitnya cokelat mengkilat khas Indonesia timur dan tubuhnya yang selalu tertutup hijab. Tentu saja tidak bercadar. Justru seringkali ia berhijab mengikuti mode yang lagi in.
Saiba juga biasa-biasa saja dari segi akademisnya. Tidak terlalu menonjol. Yang penting IP masih aman untuk mendapat beasiswa dari direktorat kemahasiswaan. Saiba bukan orang yang rajin belajar, bukan pula orang yang rajin beribadah. Cukup menjalankan kewajiban. Sholat lima waktu dan seringkali tilawah sehabis magrib.
Ia juga bukan orang yang kaya tapi cukup. Ia tidak memiliki motor seperti yang lainnya. Ia justru sering menebeng teman termasuk aku karena kontrakan kami yang jauh. Sering makan tidak teratur karena uang kiriman dan beasiswa yang sudah menipis. Meskipun begitu, ia tidak pernah mengabaikan teman-temannya. Terutama yangs edang kesulitan.
Beberapa kali aku pergi berdua dengannya. Saat itu pula aku memperhatikannya. Malam itu cukup cerah. Tidak hujan karena sedang musim kemarau. Aku pergi berdua dengannya untuk makan malam. Sebelum ke tempat makan, ia minta untuk mampir ke Indomaret sebentar untuk membeli keperluan. Saat itua kau agak heran. Saiba yang biasanya cukup hemat, membeli roti agak banyak. Padahal aku tahu, ia tidak suka ngemil. Tidak suka begadang malam karena memang tidak banyak tugas. Tidak sepertiku J. Aku justru sering menyimpan jajanan untuk persediaan ketika lapar di malam hari.
Selesai berbelanja, kami menuju kedai nasi bakar kesukaan kami. Kebiasaan, kami makan sambil mengobrol. Seperti teringat sesuatu, ia tiba-tiba memanggil abang penjual nasi bakar.
“Bang, pesan nasi bakar dengan lauk sperti ini ya bang.. dibungkus.” Katanya.
“Buat siapa Saiba? Ada yang nitip?” tanyaku.
“Tidak.” Katanya
Ia lalu menjelaskan bahwa nasi itu untuk pedagang asongan yang tadi mangkal di depan Indomaret. Pedagang keliling yang menjajakan kerupuk dari singkong yang mungkin sudah jarang diminati. Samiler, daerah kami menyebutnya demikian.
“aku pengen nanya-nanya sama bapaknya sebenarnya. Tapi aku juga mau kasih nasi ini sama ini.” Ia menunjuk jajanan yang tadi dibelinya di Indomaret.
Ooh.. aku baru sadar, ternyata Saiba sengaja membeli makanan berlebih untuk diberikan kepada pedagang asongan yang sepertinya kelelahan. Seharusnya aku sudah tidak heran dengan hal itu. Saiba pernah melakukannya beberapa kali. Pernah di suatu siang yang terik kami membeli minuman dingin di sebuah warung. Saat itu ada pedagang es krim keliling yang juga memesan nasi. Bukan pedagang es krim bermerk yang sering muncul di tv, tetapai pedagang es dung-dung yang gerobaknya sudah terlihat tua dan rapuh. Tanpa sepengetahuan sang penjual es krim, Saiba membisiki ibu penjaga warung, “biar saya saja yang bayar punya bapaknya bu..” katanya.

Mungkin dia pernah ngeles dengan bilang, “Aku pengen ngobrol dengan bapaknya, tapi nggak enak kalau nggak ngasih apa-apa..” namun sebenarnya aku tahu, Saiba hanya ingin memberi. Tidak ada pamrih di dalamnya. Mungkin ia bukan orang yang dermawan yang suka menyumbang untuk kegiatan-kegiatan amal. Ia juga bukan orang yang gampang untuk diminta iuran kerena memang kondisinya pas-pasan. Tapi ia adalah orang yang peka terhadap lingkungannya. Berhati tulus meski ia pun tidak tahu apakah ia masih bisa makan esok hari. Tidak punya tabungan kerena memang tidak ada yang bisa ditabung. Namun yang aku tahu, ia memiliki banyak tabungan pahala dari doa orang-orang yang pernah secara spontan ia bayarkan makanannya. Tabungan kebahagiaan yang tidak dimiliki orang-orang yang tidak membeli. Kebahagiaan yang ditimbulkan karena senyum orang-orang yang ditraktirnya.


* terima kasih untuk N.A. yang sangat menginspirasiku

Rizal

Waktu sudah menujukkan jam 02.00 pagi. Rizal masih berkutat dengan laptopnya. Sesekali dari mulutnya keluar senandung-senandung sholawat yang memang sering ia dendangkan saat sedang asyik. Entah mengerjakan tugas, atau sekedar main game.
“Belum tidur, Zal?” tanyaku.
“Eh, Mbak Wita. Hehe.. belum mbak. Sedang menginstal software. Lama sekali me-render-nya mbak. Mbak Wita sudah bangun?”
“Biasanya kan memang saya bangun jam segini, Zal.”
Rizal tersenyum. Aku memang sudah terbiasa bangun dini hari. Tidur lebih awal, kemudian bangun sekitar jam satu atau jam dua untuk mengerjakan tugas-tugas kantor atau sekedar baca-baca novel favoritku. Sengaja kuatur jam tidurku sedemikian karena pada jam itu biasanya anak-anak kost sudah tidur. Lebih baik dalam membantu konsentrasi. Pola hidupku memang agak aneh. Aku bisa tidur dalam keadaan gaduh sekali pun, tapi tidak bisa berkonsentrasi jika ada suara-suara yang mengganggu. Karena itu aku pilih tidur duluan kemudian bangun di pagi harinya.
Rumah ini sengaja kami sewakan per kamar untuk mahasiswa Kampus Biru. Terlalu besar kalau sekedar aku tinggali bersama bapak yang sudah sepuh. Ada sekitar tujuh orang yang tinggal di rumah ini. Semuanya laki-laki. Sengaja kami sewakan untuk laki-laki biar ndak susah menjaganya. Kata bapak menjaga anak perempuan itu susah, kalau mereka gaul bebas di luar terus mereka berzina, yang punya rumah juga punya tanggung jawab. Pasalnya kalau anak perempuan biasanya orangtua sengaja menitipkan. Beda kalau laki-laki. Mereka mau melakukan apapun, tidak ada urusan dengan yang punya rumah. Tanggung jawab masing-masing. Aku sih  manut saja apa kata bapak. Toh aku dari pagi sampai sore kerja. Sore sampai sekitar jam delapan malam setelah makan malam sama bapak, aku sudah ngantuk. Mahasiswa biasanya baru pulang setelah jam sembilan atau jam sepuluh setelah kampus tutup.  Kadang mereka membawa teman untuk belajar kelompok dan lainnya. Aku bangun sekitar jam satu. Biasanya satu per satu dari mereka sudah terlelap. Bangun-bangun sudah subuh. Mereka biasanya tidur lagi. Bangun sekitar jam tujuh atau delapan saat aku siap-siap bekerja. Ketemu paling hanya menyapa. Tidak banyak mengobrol. Yaa.. mereka sering mengobrol dengan bapakku yang sudah pensiun. Hanya satu orang yang pernah mengobril denganku sedikit lebih lama disbanding yang lain. Selain itu tidak ada yang lainnya.
Rizal. Bisa dibilang mahasiswa teknik Geologi tingkat tiga ini yang paling sholeh dibanding yang lainnya. Habis magrib sudah pulang. Biasanya langsung nderes qur’an di kamarnya. Setelah isya’an di masjid kalau tidak pergi mengerjakan tugas kelompok ya langsung masuk kamar. Belajar. Kadang-kadang juga internetan di Gazebo belakang rumah, yang memang sengaja kami bangun buat bapak bersantai sambil nyetheti burung. Tempat yang juga favorit anak-anak kost buat ngadem sambil internetan. Tidak pernah kulihat Rizal hang out bersama temannya kecuali ke pesantren Plosokuning untuk mengaji dua minggu sekali di malam Rabu. Paling-paling kalau akhir pekan, ia pulang ke rumahnya di Pekalongan.
Dari tujuh anak kost, Rizal paling sering bertemu denganku di pagi hari. Ia biasa bangun jam setengah empat, tahajud, sholat shubuh, dna tidak pernah tidur lagi setelah subuh. Kalau lagi tidak mengerjakan tugas, ia sesekali membantuku menyiram bunga-bunga atau mengobrol dengan bapak sambil memberi makan burung.
Akhir-akhir ini Rizal jarang pulang ke Pekalongan. Akhir pekan dihabiskan di kost. Tidak biasanya. Baisnya kalu tidak pulang, ya lapangan. Aku yang sebenarnya sangat jarang mengobol, suatu hari keberanikan diri untuk bertanya.
“Tidak pulang lagi, Zal.”
“Hehe..”
“Kamu ini ditanya senyam-senyum. Lagi sibuk di kampus ya? Tapi kok tidak ke Kampus?”
“Welah. Tidak mbak. Sedang ingin mandiri. Beberapa kali ini sering berpikir, mungkin sebentar lagi saya akan bekerja jauh dari rumah. Itung-itung latihan lah mbak. Sambil cari jodoh.”
“ooh.. begitu. Cari jodoh kok di rumah saja Zal. Tidak keluar-keluar seperti teman-temanmu itu.”
“Jodoh sudah ada yang ngatur mbak. Lha mbak Wita kok di rumah saja mbak?”
“Iya Zal. Hari ini jadwalnya menemani bapak Check up. Besok mungkin baru keluar sama mas Rajib.”
“Mbak Wita sudah punya pacar?” Tanya Rizal kaget.
“Sudah Zal. Sudah setahun. Kamu siih tiap minggu pulang.”
“ Lhah sudah setahun kok tidak disegerakan saja mbak?”
“Susah Zal menjelaskannya. Saya masih khawatir sama bapak kalau segera menikah, siapa nanti yang menemani bapak?”
Nduk.. Bapak sudah siap. Ayo berangkat!”
“Iya, Pak. Pergi dulu ya, Zal.”
Minggu berikutnya, Rizal menawarkan diri untuk ikut mengantar bapak kontrol.
“Biar Rizal ngerti dikit-dikit tentang kesehatan mbak. Siapa tahu nanti ketika mbak Wita tidak bisa mengantar, saya bisa menggantikan.”
Beberapa minggu kemudian, Rizal minta dicarikan kursus nyetir mobil yang bagus. Kemudian seringkali ia yang nyetir mobil ketika ikut aku dan bapak check up. Ia jadi makin sering ngobrol sama bapak. Bahkan akhir-akhir ini bapak dengan kursi rodanya ikut Rizal sholat jamaah isya dan shubuh. Dengan didirong Rizal tentunya. Sesuatu yang selama ini tidak mampu kulakukan. Rizal sering memberikanku sms nasihat yang diperolehnya dari Kyai. Membelikanku buku-buku. Dari buku doa, sampai buku Resep.
Suatu hari, Rizal tiba-tiba menghampiriku yang sedang menyiram bunga.
“Saya mau pamit mbak. Insya Allah mulai besok saya sudah magang di perminyakan. Dan sudah tidak kost lagi di sini. Doakan saya kerasan di sana ya mbak..”
“Lhoh! Mendadak sekali Zal? Sudah bilang Bapak?”
“Sudah mbak. Sebulan lalu. Ini juga minta pertimbangan bapak. Bapak.. sudah saya anggap seperti bapak saya sendiri, mbak.”
“Ooo.. ya sudah kalau begitu. Hati-hati ya Zal.. Maaafkan saya dan bapak kalau kami banyak salah.”
“Sama-sama mbak.. Saya juga minta maaf kalau saya banyak ngerepotin waktu tinggal di sini.”
“ah, tidak juga Zal. Justru saya senang kamu tinggal di sini. Begitu juga bapak. Sejak sering kamu ajak Sholat jamaah ke Masjid, bapak jadi semakin sumringah.” Rizal tersenyum.
“Oiya, ini ada titipan dari ibu di pekalongan. Jilbab batik. Sepertinya cocok untuk mbak Wita.”
“Waah cantik sekali. Terima kasih. Kamu Hati-hati ya Zal. Kamu mau minta hadiah perpisahan apa dariku Zal?”
Rizal tersenyum, “doa saja yang banyak mbak.”
Semenjak itu, aku tidak pernah lagi mendengar kabar darinya.
….
8 bulan kemudian
Langit masih mendung. Orang-orang mulai meninggalkan pemakaman. Tinggal aku sendiri yang masih merenungi kepergian bapak. Belum lagi kering air mataku, tiba-tiba dari arah timur, aku melihat orang yang sangat aku kenal.
“Rizal?”
“Iya mbak Wita. Maaf saya terlambat. Yang sabar ya mbak.. semoga almarhum mendapat tempat terbaik di sisi-Nya.”
“Aaamiin… terima kasih sudah datang.”
“Mmm.. anu mbak. Saya kesini untuk menunaikan janji saya kepada almarhum bapak yang mungkin sudah agak terlambat.”
“Apa itu Zal?”
“Besok malam saja ya mbak. Saya akan datang ke Gazebo belakang.”
Mendung pun berubah menjadi rintik hujan. Rizal berlalu meninggalkanku yang termangu dengan tanda tanya.

Bisakah sepertimu?

Hari ini jam 09.03 setelah sekitar 3 tahun tidak curhat sambil nangis ke ibu. Bukan berarti bahwa saya tidak pernah menelepon ibu, bercerita pada ibu. Saya bercerita, tapi lebih kepada hal-hal yang menyenangkan dan memilih untuk meminta doa tanpa menceritakan masalahnya. Pasalnya, sejak Idul Fitri tahun 2013 lalu saya memutuskan untuk belajar mengatasi masalah saya sendiri. Waktu itu, Mas Yusuf, kakak ketiga saya mengajak saya mengobrol empat mata. Beliau bilang, “Nduk (panggilan sayang kakak saya = panggilan untuk anak perempuan), kamu tahu bahwa kunci dari sebuah keluarga adalah pada wanitanya. Ibu dari rumah tersebut?”
saya hanya diam. Beliau meneruskan, “Wanita itu harus kuat. Kuat untuk mikir dan kuat pada hatinya. Kuat mikir suaminya, kuat mikir anaknya, kuat mikir keluarganya. Orang laki-laki (suami) jika memiliki masalah di luar, di lingkungan kerjanya, pasti yang pertama dicurhati adalah istrinya. Begitu pula dengan anak-anaknya, ada masalah di luar, teman mainnya, sekolahnya, perasaannya pribadi.. semua wanita yang menampung. Dia yang mikir. Untuk menenangkan suaminya, meski tidak selalu memberikan solusi. Setidaknya lebih kepada membuat mereka tenang dan bersemangat untuk menyelesaikan masalah mereka. Itu semua pasti dia lakukan tanpa tahu ia akan bercerita pada siapa.”
“karena itu nduk, kamu ini wanita. Sudah 19 tahun. Sudah saatnya untuk menikah. Belajar mengatasi masalahnya sendiri. Jangan terlalu sering curhat. Orangtua jangan dicurhati, tapi diminta doanya. Kalau sedang ada masalah.. buat belajar, curhatlah sama kakakmu atau kakak iparmu yang bisa ngasih solusi. Jangan kepada orangtua yang bisa jadi tidak memberi solusi, tapi malah ikutan mikir. Ibu sudah tua, jangan ditambahi beban pikirannya. Sebisa mungkin selalu senangkan hatinya.
Nanti kalau sudah berumah tangga, kamu sudah terbiasa mengatasi masalahmu sendiri dan insya Allah mengatasi masalah suami dan anak-anakmu pun akan lebih mudah. Masmu ini sudah berpengalaman nduk.. dulu ketika yang tak ceritakan masalah.. terus. Justru bukan solusi yang masmu dapat, tapi justru keadaan tidak berubah. Kerena masmu sadar bahwa cerita tentang masalah mas justru malah membebani orangtua. Belakangan masmu jadi lebih baik yaa karena doa nduk.. Ndak ada lagi tuh cerita masalah dan keluhan. Yang ada hanya cerita bahagia dan doa. Coba sekarang lihat.. orangtua akan terstimulasi untuk mendoakan yang baik-baik kalau kita cerita yang baik-baik. Begitu juga kalau kita menceritakan keluhan, bukan mendoakan jelek, tapi beliau pasti jadi mikir bahwa anaknya punya masalah. Bisa jadi karena kita menyusahkan pikiran mereka, itu menghalangi doa-doa baik yang mengalir pada kita.
Masmu ndak pengen kamu terlambat menyadarinya. Jangan kayak masmu. Ya? Belajar mengatasi masalahnya sendiri.
Rumah tangga itu adalah kerajaanmu sendiri. Kamu ratunya. Kamu yang mengatur, kamu yang membawa apakah keluarga itu akan bahagia, tenteram, atau tidak. Yaa.. sepandai-pandainya wanitanya. Bukan laki-lakinya. Mereka jadi bagus dalam memimpin keluarga, bagus dalam kerjaannya, ya karena dukungan wanitanya. Laki-laki itu nggak mungkin bisa mikir sendiri. Pasti butuh seseorang yang mendukung. Seseorang selalu tersenyum di belakangnya, bersedia menjadi air yang menenangkan baginya. Tempat dia kembali. Sudah ataupun senang. Maka itu, wanita harus tahan banting.
Kamu sudah gadis. Sudah bisa sir-sir-an sama laki-laki. Sebentar lagi lak yo pengen nikah to..” saya hanya tersipu.
Sejak saat itu, saya putuskan untuk sebisa mungkin mengatasi masalah-masalah saya sendiri. Tapi, saya hanyalah wanita biasa. Butuh sesorang untuk menumpahkan perasaan. Apalagi saya sangat dekat dengan ibu saya. Pagi ini disaat yang sangat sumpek  saya menelepon ibu. Mengabaikan bahwa saya tahu ibu biasa ngaji reboan di Masjid Agung. Ibu sedang di jalan ketika saya menelepon dengan suara manja. Mungkin ibu merasa ada yang tidak beres dari suara saya. Ibu yang biasanya agak keras kalau saya ganggu, kali ini memutuskan pulang dulu menerima telepon saya. Di telepon saya hanya bilang bahwa rhinitis (flu karena alergi) saya kambuh sambil menagis terisak-isak. Tanpa bercerita ibu sudah tahu bahwa saya sedang sumpek. Ibu hanya bilang, “Dzikir nduk.. cerita sama Allah. Doa sama Allah.”
“kalau ada yang mengganggu kita, padhahal kita tidak berbuat apa-apa, yaa.. ikhlaskan saja. Bacakan Al-Faatihah saja. Sama sholawat kepada Kanjeng Nabi. Insya Allah akan baik sendiri. Mohon ketentraman hati sama Allah. Manusia tidak ada yang tidak ada masalah nduk.. Semua orang pasti diuji. Jalani saja ujian hidupmu. Tetaplah taat sama Allah dan baik kepada siapapun. Semoga bisa menjadi amal sholih.”
Tiga puluh menit saya hanya menangis di telepon. Suara isak saya mulai mereda. Ibu pun berkata, “Uwes? Sudah lega? Sudah lega apa belum”
Sampun,”
Yowes. Segera berobat. Aku tak ngaji dulu yaa. Kata Bu Is telat ndak apa-apa kok. Yang penting datang.”
Nggih bu.. dungakno nggih..”
Nggih..” telepon pun ditutup. Saya merasa lebih baik sekarang.
Maafkan saya bu.. Semoga tidak membebani pikiranmu.
Betapa istimewanya seorang ibu. Tanpa bercerita pun sudah tahu masalah anaknya. Rela berkorban demi anaknya. Memberikan nasihat-nasihat yang menentramkan. Naluri sorang ibu selalu bisa merasakan perasan anaknya.
Bu.. apalah artinya diri ini tanpamu. Bu.. meski sudah besar, kami selalu membutuhkanmu. Bu.. bisakah saya sepertimu. Sekuat dirimu. Tidak hanya membesarkan satu anak, melainkan sepuluh pun kau mampu.
Bu.. bisakah?

Selasa, 15 Desember 2015

Sepotong Hikmah dari Seorang Tunggul

Pagi itu dengan berlari-lari saya berusaha mencapai kereta logawa yang sudah mulai berjalan, akhirnya saya berhasil naik dan duduk di kursi saya. Sebenarnya ada fasilitas transportasi mobil dari kantor, namun karena saya hanya sendirian (berdua dengan sopir), saya memilih untuk memakai transportasi umum dengan fresh money di tangan. Dengan transportasi umum ini saya bisa sekalian mampir-mampir. Mampir rumah dan mampir tempat saudara yang belum sempat saya kunjungi ketika libur idul firti yang cukup pendek kemarin.
Tiba di stasiun Klaten, kereta berhenti. Kemudian naiklah seorang bapak paruh baya yang nomor tempat duduknya tepat di sebelah saya. Sebelum duduk beliau mencari-cari tempat tas yang kosong. Saya turut mencarikan. Setelah dapat, beliau duduk. Saya perhatikan wajahnya, sepertinya kenal. Kemudian saya bertanya, “Bapak turun Jombang ya, Pak?”
“Iya, kok tahu?” sambil menoleh ke arah saya. Beliau terkejut.
“Ooo.. kamu to Mbak Ila. Anaknya Pakdhe Yasin. Pangling aku. Iki mau tekan endi awakmu?”
Nama bapak itu Bapak Joko Tunggul yang karena di kompleks perumahan saya banyak yang bernama Pak Joko, kamu cukup menyebut beliau Pak Tunggul saja. Rumahnya satu blok dengan rumah orangtua saya, selisih lima rumah. Beliau banyak bercerita tentang kisah masa kecilnya. Masa-masa kuliahnya di UNS yang berat, masa kuliah sambil jual areng sehingga ketika lulus D3 dengan gelar BA, bukan Bachelor of Arts namun diplesetkan menjadi (Bakul Areng). Masa ketika pengabdian di daerah, direkrut oleh Pemda Metro dan Pemda Tulungagung, memutuskan jadi pegawai swasta, sampai akhirnya pensiun dan membuka usaha pelatihan. Banyak hal yang saya dapatkan. Tidak hanya sekedar cerita, namun juga nilai perjuangan.
Di tengah, beliau bertanya tentang kuliah saya, mau ngapain setelah lulus. Lucunya, beliau membumbui pertanyaannya dengan pesan, “Jangan jadi PNS ya, mbak?” haha.. padahal istri dan anak kedua beliau PNS. Kemudian beliau bercerita tentang pengalaman beliau pengabdian di beberapa kota, kemudian karena kinerja yang bagus, pintar dalam hal keuangan, beliau dilirik oleh Pemda setempat untuk jadi PNS jalur khusus. Namun beliau menolak. Beliau bilang bahwa sebenarnya pekerjaan PNS itu bisa selesai sampai jam 11 saja. Selebihnya, sangat tidak produktif. Banyak ngobrol, banyak gabut. Banyak waktu yang bisa kita gunakan lebih. Seandainya beliau menerima, pasti pangkatnya sudah tinggi. Namun ada idealisme lain yang beliau perjuangkan. Keinginan agar bisa lebih banyak waktu untuk keluarga, orangtua, serta untuk mendapatkan penghasilan yang lebih tinggi untuk membiayai adik-adik beliau yang masih sekolah.
Beliau kini sudah pensiun. Pensiun tidak membuat beliau berhenti dari aktivitas. Menganggur itu tidak enak. Kita akan lebih cepat tua dan cepat pikun. Beliau mendirikan sebuat CV yang melakukan pelatihan dan uji kompetensi tenaga pendidik. Memfasilitasi keluhan istri beliau (kebetulan guru saya juga ketika SMP) tentang tenaga pendidik yang sangat banyak namun tidak kompeten dalam mengajar. CV ini kemudian banyak memfasilitasi program Dinas Pendidikan dan Dinas Sosial Kabupaten Jombang. Sebisa mungkin kita harus selalu produktif.  Di Indonesia ini banyak orang tidak produktif. Jangan menambah-nambah kuota orang tidak produktif. Kalau bisa lakukanlah sesuatu untuk negara ini. Orang tidak produktif bisa jadi bukan hanya karena sistem pemerintah yang tidak membawa kemajuan, tapi juga karena manusianya sendiri yang tidak mau maju. Tidak mau bertindak kreatif.

Percakapan ini berlangsung kurang lebih tiga jam, dengan sesekali saya timpali. Setelah jam 12.30 sepertinya beliau lelah dan tertidur. Saya pun demikian. Sampai akhirnya saatnya kami turun di stasiun Jombang.

Petani, KUR (Kredit Usaha Rakyat), dan Koperasi

Siang itu saya sengaja mampir ke sawah menemui beberapa petani yang sedang beristirahat untuk uji kuesioner. Selain wawancara dengan kuesioner yang telah disediakan, saya memanfaatkan kesempatan untuk menggali lebih lanjut tentang petani dan seluk-beluknya. Mulai dari pola tanam, keuntungan atau kerugian, falsafah hidup petani (nantkan kuceritakan lebih lanjut di cerita berikutnya), dan yang paling penting tentang pinjaman dan kredit.
Kalian tahu bahwa sekarang ada program pemerintah yang namanya Kredit Usaha Rakyat yang disepanjang cerita ini akan disebut KUR. KUR ini dikelola oleh pemerintah yang diwakili oleh Bank Umum BRI. Yaa.. BRI (Bank Rakyat Indonesia) sedianya memang dibangun untuk rakyat kecil dengan model tabungan SIMPEDES sehingga program pemerintah guna meningkatkan produktivitas petani ini memang sangat cocok jika dikelola oleh BRI. Namun tahukah kamu pada awal 2015 lalu BRI telah dijual? 87% saham BRI telah dikuasai oleh asing. Saya belum menggali lebih lanjut tentang KUR ini karena minimnya literasi. Hanya yang sedikit saya temukan memalui software pencari google bahwa pemerintah memberikan bonus sebesar 22% atas KUR ini kepada BRI sedangkan yang diberikan kepada petani hanya 6%. Kemudian kemana 16%nya? Yaa.. ini adalah keuntungan BRI yang sudah dikuasai asing ini. Saya tidak tahu apa yang dipikirkan oleh orang-orang pintar di pemerintahan sana. Semoga mereka tidak memiliki niat buruk terhadap bangsanya sendiri.
Kemudian apa hubungannya dengan koperasi? Koperasi adalah soko guru perekonomian bangsa Indonesia. Yang sistemnya you know lah.. dari oleh dan untuk anggota. Termasuk di sini adalah koperasi petani yang diakomodasi oleh KUD (Koperasi Unit Desa). Koperasi di sini utamanya untuk menghimpun hasil usah petani, mengelola dan menjual, memeberikan kredit dan pinjaman kemudian membagikan hasil usaha. Sistem ini yang dinilai sangat sustain untuk perekonomian bangsa Indonesia. Namun seiring dengan adanya KUR, petani jadi sangat sedikit yang melaporkan, menyimpan atau menjual hasil panennya di koperasi.
 Adanya KUR  dengan anggunan mudah dan cepat tentunya sangat menguntungkan bagi petani, kata bapak PS responden saya waktu itu. Proposal cepat acc dan uang cepat turun. Tidak berat ngangsurnya. Petani jadi lebih produktif. Gampang dapat pupuk dan mudah dari segi pengairan. Respon tersebut menunjukkan bahwa KUR memang tepat untuk meningkatkan produktivitas petani.

Dilema Koperasi, KUR yang menguntungkan petani serta KUR yang dikelola oleh BRI yang dikuasai asing menjadi mata rantai yang tak terpisahkan. Saya bukanlah ahli ekonomi maupun ahli pertanian. Hanya menemukan hal lain yang menarik dari sekedar survei. Yaa.. saya memang perlu menggali lebih lanjut soal ini. Sebagai seorang akademisi tidak seharusnya saya menutup mata dari pengetahuan saya yang bukan bidang saya bukan? Meskipun saya tidak ahli benar dalam bidang tersebut, setidaknya saya mampu menghubungkan antara fakta-fakta dan keadaan.