Selasa, 15 Desember 2015

Sepotong Hikmah dari Seorang Tunggul

Pagi itu dengan berlari-lari saya berusaha mencapai kereta logawa yang sudah mulai berjalan, akhirnya saya berhasil naik dan duduk di kursi saya. Sebenarnya ada fasilitas transportasi mobil dari kantor, namun karena saya hanya sendirian (berdua dengan sopir), saya memilih untuk memakai transportasi umum dengan fresh money di tangan. Dengan transportasi umum ini saya bisa sekalian mampir-mampir. Mampir rumah dan mampir tempat saudara yang belum sempat saya kunjungi ketika libur idul firti yang cukup pendek kemarin.
Tiba di stasiun Klaten, kereta berhenti. Kemudian naiklah seorang bapak paruh baya yang nomor tempat duduknya tepat di sebelah saya. Sebelum duduk beliau mencari-cari tempat tas yang kosong. Saya turut mencarikan. Setelah dapat, beliau duduk. Saya perhatikan wajahnya, sepertinya kenal. Kemudian saya bertanya, “Bapak turun Jombang ya, Pak?”
“Iya, kok tahu?” sambil menoleh ke arah saya. Beliau terkejut.
“Ooo.. kamu to Mbak Ila. Anaknya Pakdhe Yasin. Pangling aku. Iki mau tekan endi awakmu?”
Nama bapak itu Bapak Joko Tunggul yang karena di kompleks perumahan saya banyak yang bernama Pak Joko, kamu cukup menyebut beliau Pak Tunggul saja. Rumahnya satu blok dengan rumah orangtua saya, selisih lima rumah. Beliau banyak bercerita tentang kisah masa kecilnya. Masa-masa kuliahnya di UNS yang berat, masa kuliah sambil jual areng sehingga ketika lulus D3 dengan gelar BA, bukan Bachelor of Arts namun diplesetkan menjadi (Bakul Areng). Masa ketika pengabdian di daerah, direkrut oleh Pemda Metro dan Pemda Tulungagung, memutuskan jadi pegawai swasta, sampai akhirnya pensiun dan membuka usaha pelatihan. Banyak hal yang saya dapatkan. Tidak hanya sekedar cerita, namun juga nilai perjuangan.
Di tengah, beliau bertanya tentang kuliah saya, mau ngapain setelah lulus. Lucunya, beliau membumbui pertanyaannya dengan pesan, “Jangan jadi PNS ya, mbak?” haha.. padahal istri dan anak kedua beliau PNS. Kemudian beliau bercerita tentang pengalaman beliau pengabdian di beberapa kota, kemudian karena kinerja yang bagus, pintar dalam hal keuangan, beliau dilirik oleh Pemda setempat untuk jadi PNS jalur khusus. Namun beliau menolak. Beliau bilang bahwa sebenarnya pekerjaan PNS itu bisa selesai sampai jam 11 saja. Selebihnya, sangat tidak produktif. Banyak ngobrol, banyak gabut. Banyak waktu yang bisa kita gunakan lebih. Seandainya beliau menerima, pasti pangkatnya sudah tinggi. Namun ada idealisme lain yang beliau perjuangkan. Keinginan agar bisa lebih banyak waktu untuk keluarga, orangtua, serta untuk mendapatkan penghasilan yang lebih tinggi untuk membiayai adik-adik beliau yang masih sekolah.
Beliau kini sudah pensiun. Pensiun tidak membuat beliau berhenti dari aktivitas. Menganggur itu tidak enak. Kita akan lebih cepat tua dan cepat pikun. Beliau mendirikan sebuat CV yang melakukan pelatihan dan uji kompetensi tenaga pendidik. Memfasilitasi keluhan istri beliau (kebetulan guru saya juga ketika SMP) tentang tenaga pendidik yang sangat banyak namun tidak kompeten dalam mengajar. CV ini kemudian banyak memfasilitasi program Dinas Pendidikan dan Dinas Sosial Kabupaten Jombang. Sebisa mungkin kita harus selalu produktif.  Di Indonesia ini banyak orang tidak produktif. Jangan menambah-nambah kuota orang tidak produktif. Kalau bisa lakukanlah sesuatu untuk negara ini. Orang tidak produktif bisa jadi bukan hanya karena sistem pemerintah yang tidak membawa kemajuan, tapi juga karena manusianya sendiri yang tidak mau maju. Tidak mau bertindak kreatif.

Percakapan ini berlangsung kurang lebih tiga jam, dengan sesekali saya timpali. Setelah jam 12.30 sepertinya beliau lelah dan tertidur. Saya pun demikian. Sampai akhirnya saatnya kami turun di stasiun Jombang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar