Waktu sudah
menujukkan jam 02.00 pagi. Rizal masih berkutat dengan laptopnya. Sesekali dari
mulutnya keluar senandung-senandung sholawat yang memang sering ia dendangkan
saat sedang asyik. Entah mengerjakan tugas, atau sekedar main game.
“Belum tidur,
Zal?” tanyaku.
“Eh, Mbak
Wita. Hehe.. belum mbak. Sedang menginstal software.
Lama sekali me-render-nya mbak. Mbak Wita
sudah bangun?”
“Biasanya kan
memang saya bangun jam segini, Zal.”
Rizal tersenyum.
Aku memang sudah terbiasa bangun dini hari. Tidur lebih awal, kemudian bangun
sekitar jam satu atau jam dua untuk mengerjakan tugas-tugas kantor atau sekedar
baca-baca novel favoritku. Sengaja kuatur jam tidurku sedemikian karena pada
jam itu biasanya anak-anak kost sudah tidur. Lebih baik dalam membantu
konsentrasi. Pola hidupku memang agak aneh. Aku bisa tidur dalam keadaan gaduh
sekali pun, tapi tidak bisa berkonsentrasi jika ada suara-suara yang
mengganggu. Karena itu aku pilih tidur duluan kemudian bangun di pagi harinya.
Rumah ini
sengaja kami sewakan per kamar untuk mahasiswa Kampus Biru. Terlalu besar kalau
sekedar aku tinggali bersama bapak yang sudah sepuh. Ada sekitar tujuh orang
yang tinggal di rumah ini. Semuanya laki-laki. Sengaja kami sewakan untuk
laki-laki biar ndak susah menjaganya. Kata bapak menjaga anak perempuan itu
susah, kalau mereka gaul bebas di luar terus mereka berzina, yang punya rumah
juga punya tanggung jawab. Pasalnya kalau anak perempuan biasanya orangtua
sengaja menitipkan. Beda kalau laki-laki. Mereka mau melakukan apapun, tidak
ada urusan dengan yang punya rumah. Tanggung jawab masing-masing. Aku sih manut
saja apa kata bapak. Toh aku dari pagi sampai sore kerja. Sore sampai sekitar
jam delapan malam setelah makan malam sama bapak, aku sudah ngantuk. Mahasiswa
biasanya baru pulang setelah jam sembilan atau jam sepuluh setelah kampus
tutup. Kadang mereka membawa teman untuk
belajar kelompok dan lainnya. Aku bangun sekitar jam satu. Biasanya satu per
satu dari mereka sudah terlelap. Bangun-bangun sudah subuh. Mereka biasanya
tidur lagi. Bangun sekitar jam tujuh atau delapan saat aku siap-siap bekerja.
Ketemu paling hanya menyapa. Tidak banyak mengobrol. Yaa.. mereka sering mengobrol
dengan bapakku yang sudah pensiun. Hanya satu orang yang pernah mengobril
denganku sedikit lebih lama disbanding yang lain. Selain itu tidak ada yang
lainnya.
Rizal. Bisa
dibilang mahasiswa teknik Geologi tingkat tiga ini yang paling sholeh dibanding
yang lainnya. Habis magrib sudah pulang. Biasanya langsung nderes qur’an di kamarnya. Setelah isya’an di masjid kalau tidak pergi mengerjakan tugas kelompok ya
langsung masuk kamar. Belajar. Kadang-kadang juga internetan di Gazebo belakang
rumah, yang memang sengaja kami bangun buat bapak bersantai sambil nyetheti burung. Tempat yang juga favorit
anak-anak kost buat ngadem sambil internetan. Tidak pernah kulihat Rizal hang out bersama temannya kecuali ke
pesantren Plosokuning untuk mengaji dua minggu sekali di malam Rabu.
Paling-paling kalau akhir pekan, ia pulang ke rumahnya di Pekalongan.
Dari tujuh
anak kost, Rizal paling sering bertemu denganku di pagi hari. Ia biasa bangun
jam setengah empat, tahajud, sholat shubuh, dna tidak pernah tidur lagi setelah
subuh. Kalau lagi tidak mengerjakan tugas, ia sesekali membantuku menyiram
bunga-bunga atau mengobrol dengan bapak sambil memberi makan burung.
Akhir-akhir
ini Rizal jarang pulang ke Pekalongan. Akhir pekan dihabiskan di kost. Tidak
biasanya. Baisnya kalu tidak pulang, ya lapangan. Aku yang sebenarnya sangat
jarang mengobol, suatu hari keberanikan diri untuk bertanya.
“Tidak pulang
lagi, Zal.”
“Hehe..”
“Kamu ini
ditanya senyam-senyum. Lagi sibuk di kampus ya? Tapi kok tidak ke Kampus?”
“Welah. Tidak
mbak. Sedang ingin mandiri. Beberapa kali ini sering berpikir, mungkin sebentar
lagi saya akan bekerja jauh dari rumah. Itung-itung latihan lah mbak. Sambil
cari jodoh.”
“ooh.. begitu.
Cari jodoh kok di rumah saja Zal. Tidak keluar-keluar seperti teman-temanmu
itu.”
“Jodoh sudah
ada yang ngatur mbak. Lha mbak Wita kok di rumah saja mbak?”
“Iya Zal. Hari
ini jadwalnya menemani bapak Check up. Besok mungkin baru keluar sama mas
Rajib.”
“Mbak Wita
sudah punya pacar?” Tanya Rizal kaget.
“Sudah Zal.
Sudah setahun. Kamu siih tiap minggu pulang.”
“ Lhah sudah
setahun kok tidak disegerakan saja mbak?”
“Susah Zal
menjelaskannya. Saya masih khawatir sama bapak kalau segera menikah, siapa
nanti yang menemani bapak?”
“Nduk.. Bapak sudah siap. Ayo berangkat!”
“Iya, Pak.
Pergi dulu ya, Zal.”
Minggu
berikutnya, Rizal menawarkan diri untuk ikut mengantar bapak kontrol.
“Biar Rizal
ngerti dikit-dikit tentang kesehatan mbak. Siapa tahu nanti ketika mbak Wita
tidak bisa mengantar, saya bisa menggantikan.”
Beberapa
minggu kemudian, Rizal minta dicarikan kursus nyetir mobil yang bagus. Kemudian
seringkali ia yang nyetir mobil ketika ikut aku dan bapak check up. Ia jadi
makin sering ngobrol sama bapak. Bahkan akhir-akhir ini bapak dengan kursi
rodanya ikut Rizal sholat jamaah isya dan shubuh. Dengan didirong Rizal
tentunya. Sesuatu yang selama ini tidak mampu kulakukan. Rizal sering
memberikanku sms nasihat yang diperolehnya dari Kyai. Membelikanku buku-buku.
Dari buku doa, sampai buku Resep.
Suatu hari,
Rizal tiba-tiba menghampiriku yang sedang menyiram bunga.
“Saya mau
pamit mbak. Insya Allah mulai besok saya sudah magang di perminyakan. Dan sudah
tidak kost lagi di sini. Doakan saya kerasan di sana ya mbak..”
“Lhoh! Mendadak
sekali Zal? Sudah bilang Bapak?”
“Sudah mbak.
Sebulan lalu. Ini juga minta pertimbangan bapak. Bapak.. sudah saya anggap
seperti bapak saya sendiri, mbak.”
“Ooo.. ya
sudah kalau begitu. Hati-hati ya Zal.. Maaafkan saya dan bapak kalau kami
banyak salah.”
“Sama-sama
mbak.. Saya juga minta maaf kalau saya banyak ngerepotin waktu tinggal di
sini.”
“ah, tidak
juga Zal. Justru saya senang kamu tinggal di sini. Begitu juga bapak. Sejak
sering kamu ajak Sholat jamaah ke Masjid, bapak jadi semakin sumringah.” Rizal
tersenyum.
“Oiya, ini ada
titipan dari ibu di pekalongan. Jilbab batik. Sepertinya cocok untuk mbak
Wita.”
“Waah cantik
sekali. Terima kasih. Kamu Hati-hati ya Zal. Kamu mau minta hadiah perpisahan
apa dariku Zal?”
Rizal
tersenyum, “doa saja yang banyak mbak.”
Semenjak itu,
aku tidak pernah lagi mendengar kabar darinya.
….
8 bulan kemudian
Langit masih
mendung. Orang-orang mulai meninggalkan pemakaman. Tinggal aku sendiri yang
masih merenungi kepergian bapak. Belum lagi kering air mataku, tiba-tiba dari
arah timur, aku melihat orang yang sangat aku kenal.
“Rizal?”
“Iya mbak
Wita. Maaf saya terlambat. Yang sabar ya mbak.. semoga almarhum mendapat tempat
terbaik di sisi-Nya.”
“Aaamiin…
terima kasih sudah datang.”
“Mmm.. anu
mbak. Saya kesini untuk menunaikan janji saya kepada almarhum bapak yang
mungkin sudah agak terlambat.”
“Apa itu Zal?”
“Besok malam
saja ya mbak. Saya akan datang ke Gazebo belakang.”
Mendung pun
berubah menjadi rintik hujan. Rizal berlalu meninggalkanku yang termangu dengan
tanda tanya.
…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar