Rabu, 30 Desember 2015

Kebaikan Kecil yang Membawa Kebahagiaan

Aku mengenalnya sejak tiga tahun lalu. Satu tahun terakhir kami tinggal satu atap. Satu rumah kontrakan tepatnya. Sebut saja namanya Saiba. Seperti nama India yaa.. J . yaa.. dia memang sedikit alay layaknya gadis India. Secra postur dia tidak terlalu istimewa. Tingginya biasa-biasa saja. Kulitnya cokelat mengkilat khas Indonesia timur dan tubuhnya yang selalu tertutup hijab. Tentu saja tidak bercadar. Justru seringkali ia berhijab mengikuti mode yang lagi in.
Saiba juga biasa-biasa saja dari segi akademisnya. Tidak terlalu menonjol. Yang penting IP masih aman untuk mendapat beasiswa dari direktorat kemahasiswaan. Saiba bukan orang yang rajin belajar, bukan pula orang yang rajin beribadah. Cukup menjalankan kewajiban. Sholat lima waktu dan seringkali tilawah sehabis magrib.
Ia juga bukan orang yang kaya tapi cukup. Ia tidak memiliki motor seperti yang lainnya. Ia justru sering menebeng teman termasuk aku karena kontrakan kami yang jauh. Sering makan tidak teratur karena uang kiriman dan beasiswa yang sudah menipis. Meskipun begitu, ia tidak pernah mengabaikan teman-temannya. Terutama yangs edang kesulitan.
Beberapa kali aku pergi berdua dengannya. Saat itu pula aku memperhatikannya. Malam itu cukup cerah. Tidak hujan karena sedang musim kemarau. Aku pergi berdua dengannya untuk makan malam. Sebelum ke tempat makan, ia minta untuk mampir ke Indomaret sebentar untuk membeli keperluan. Saat itua kau agak heran. Saiba yang biasanya cukup hemat, membeli roti agak banyak. Padahal aku tahu, ia tidak suka ngemil. Tidak suka begadang malam karena memang tidak banyak tugas. Tidak sepertiku J. Aku justru sering menyimpan jajanan untuk persediaan ketika lapar di malam hari.
Selesai berbelanja, kami menuju kedai nasi bakar kesukaan kami. Kebiasaan, kami makan sambil mengobrol. Seperti teringat sesuatu, ia tiba-tiba memanggil abang penjual nasi bakar.
“Bang, pesan nasi bakar dengan lauk sperti ini ya bang.. dibungkus.” Katanya.
“Buat siapa Saiba? Ada yang nitip?” tanyaku.
“Tidak.” Katanya
Ia lalu menjelaskan bahwa nasi itu untuk pedagang asongan yang tadi mangkal di depan Indomaret. Pedagang keliling yang menjajakan kerupuk dari singkong yang mungkin sudah jarang diminati. Samiler, daerah kami menyebutnya demikian.
“aku pengen nanya-nanya sama bapaknya sebenarnya. Tapi aku juga mau kasih nasi ini sama ini.” Ia menunjuk jajanan yang tadi dibelinya di Indomaret.
Ooh.. aku baru sadar, ternyata Saiba sengaja membeli makanan berlebih untuk diberikan kepada pedagang asongan yang sepertinya kelelahan. Seharusnya aku sudah tidak heran dengan hal itu. Saiba pernah melakukannya beberapa kali. Pernah di suatu siang yang terik kami membeli minuman dingin di sebuah warung. Saat itu ada pedagang es krim keliling yang juga memesan nasi. Bukan pedagang es krim bermerk yang sering muncul di tv, tetapai pedagang es dung-dung yang gerobaknya sudah terlihat tua dan rapuh. Tanpa sepengetahuan sang penjual es krim, Saiba membisiki ibu penjaga warung, “biar saya saja yang bayar punya bapaknya bu..” katanya.

Mungkin dia pernah ngeles dengan bilang, “Aku pengen ngobrol dengan bapaknya, tapi nggak enak kalau nggak ngasih apa-apa..” namun sebenarnya aku tahu, Saiba hanya ingin memberi. Tidak ada pamrih di dalamnya. Mungkin ia bukan orang yang dermawan yang suka menyumbang untuk kegiatan-kegiatan amal. Ia juga bukan orang yang gampang untuk diminta iuran kerena memang kondisinya pas-pasan. Tapi ia adalah orang yang peka terhadap lingkungannya. Berhati tulus meski ia pun tidak tahu apakah ia masih bisa makan esok hari. Tidak punya tabungan kerena memang tidak ada yang bisa ditabung. Namun yang aku tahu, ia memiliki banyak tabungan pahala dari doa orang-orang yang pernah secara spontan ia bayarkan makanannya. Tabungan kebahagiaan yang tidak dimiliki orang-orang yang tidak membeli. Kebahagiaan yang ditimbulkan karena senyum orang-orang yang ditraktirnya.


* terima kasih untuk N.A. yang sangat menginspirasiku

Tidak ada komentar:

Posting Komentar