Senin, 04 Januari 2016

“Mengobati” Indonesia untuk Indonesia Lebih Maju

Adjie masaid
Awan hitam menutupi dunia hiburan Indonesia. Seluruh media masa geger memuat halaman utama kematian aktor Adjie Masaid. Dijemput maut selepas bermain futsal, bagi kebanyakan orang, adalah adalah hal yang kontradiktif. Karena olahraga disandingkan dengan gaya hidup sehat, jauh dari penyakit, dan berumur panjang. Juah dari logika publik, jika seorang pegiat olahraga menemui ajal di lapangan hijau. Akan tetapi, Adjie masaid bukanlah kali pertama artis yang mendadak mati usai berolahraga, benyamin sueb, basuki dan artis-artis lainnya lebih dahulu meninggal seusai bermain bola. Tentu, beragam cerita pernah didapati disekitar kita seusai aktivitas kemudian meninggal, atau meninggal tanpa aktivitas dan tanpa gejala apapun. Tentu saja kesimpulan ini bukanlah ingin menyalahi Takdir yang sudah ditetapkan oleh tuhan, akan tetapi inilah gambaran sesungguhnya bahwa fenomena di atas adalah gambaran dari sudden death. Kematian tiba-tiba karena penyakit kardiovaskuler yang tidak terdeteksi. Fenomena seperti ni merupakan salah satu potret bangsa ini saat ini. Indonesia sedang di bom oleh negara adidaya melalui sedentary life style. Hidup modern ala instan. Atau fenomena dimana saat ini banyak pria yang gemar nge-gym tapi tetap sering sakit, mudah lelah, dan tidak bugar. Hidup modern ala instan.
Malnutrisi
“Orang bilang tanah kita tanah surga, tongkat kayu dan batu jadi tanaman.”
Lagu yang indah, indonesia yang makmur dan subur. Tapi faktanya, kelaparan masih  melanda Indonesia. Kemiskinan adalah cerminan masyarakat yang belum tertuntaskan. Indonesia sedang mengalami bencana malnutrisi. Seperti hal yang mustahil. Bagaimana bisa negara agraris tetapi harus memasok kebutuhan dari negara lain. Ibarat orang asing di negeri sendiri. Seperti tamu yang masuk ke rumah sendiri dan hanya boleh masuk tanpa harus ikut campur mengutak-atik segala urusan yang ada di dalam rumah. Seperti itulah gambaran negeri ini. Banyak aset, banyak kekayaan melimpah, akan tetapi aset itu milik orang asing, kekayaan itu kini mengalir ke negeri sebelah. Salah satu dampaknya adalah negeri yang tropis subur makmur ini, masih harus mengimpor bahan pokok sehari-hari. Dan fenomena yang terjadi adalah double burn malnutrition. Perlu diketahui bahwa malnutrisi bukanlah hanya kekurangan gizi saja yang di asosiasikan dengan kemiskinan, akan tetapi nutrisi yang berlebihan dan obesitas. Dikatakan double burn karena fenomena ini tidak hanya mengena pada masyarakat kelas bawah saja, akan tetapi juga kelas atas. Atas bawah kena. semua menjadi korban. Apa yang digelisahkan dari malnutrsi? Bagi si miskin, mahalnya barang pokok sehari-hari, karena ketidakmampuan dalam negeri memenuhi pangan, membuat gizi tidak tercukupi. Makan ala kadarnya, yang penting kenyang, atau lebih sering tidak makan. Hal ini sangat berbahaya bagi ibu hamil dan bayi. Karena 1000 hari sejak diciptakan, dimulai sejak masa kandungan hingga pasca dilahirkan, adalah masa yang sangat penting untuk pertumbuhan dan pemenuhan nutrisi. Inilah yang disebut masa pertumbuhan emas. Guru besar kedokteran UGM, Hadi dkk meneliti bahwa orang-orang yang nutrisinya tidak tercukupi pada 1000 hari pertama kehidupan, maka akan menimbulkan pertumbuhan yang lambat, baik dari segi fisik, kognitif, mengelola emosi dan sosial serta mental dan fungsi-fungsi eksekutif. Indonesia saat ini menjadi negara pemyumbang orang pendek terbesar kelima seluruh dunia. Pertumbuhan yang lambat karena kekurangan gizi dipegang indonesia sebesar 37%. Artinya jika ada 3 orang berjalan dengan usia yang sama, maka satu diantaranya bertubuh kecil. Pertumbuhan kognitif yang lambat adalah bomerang. Bagaimana mungkin bangsa ini maju, jika sumber daya yang ada tidak mampu berpikir cerdas. Selain itu dampak yang ditimbulkan adalah keterbelakangan mental. Kesehatan mental adalah cerminan jiwa yang sehat, berkhalak baik dan berprilaku santun. Hadi dkk dalam penelitiannya tahun 2013 sungguh mencengangkan bahwa orang-orang yang kecilnya tidak mendapat asupan nutrisi yang  cukup, maka setelah tua dan dewasa akan mudah terkena penyakit-penyakit degeneratif, seperti penyakit jantung, diabetes dan stroke.
Tetapi sayangnya, bagaimana memikirkan nutrisi jika untuk menghidupkan tungku-tungku rumah saja mereka tidak mampu. Jika si balita selalu diberi makan mie instan setiap hari. Untuk menjaga kesehatan, olahraga sangat diwajibkan. Tetapi, bagaimana orang mau bermain bola, jika lahan saja sudah tidak ada dan sekarang harus bayar pula setiap jamnya. Bagaimana orang bisa berolahraga jika si pejalan kaki selalu kalah dengan motor. Jika trotoar kini menjadi lapak para pedagang bahkan dijadikan lahan parkir dan jalan untuk si motor. Bagaimana bisa bersepeda jika ulah si motor selalu egois selip sana selip sini dan tidak peduli si pejalan hendak menyebrang. Untuk bernapas saja kami masih harus diracuni asap rokok dimanapun, angkot, bus kota bahkan mushola dan tempat-tempat umum lainnya. Saat ini banyak masyarakat kita yang berperilaku konsumif. Mengabaikan kesehatan demi kenikmatan sesaat. Tidak bisa disalahkan jika setiap waktu masyarakat kita dibanjiri iklan-iklan akan nikmatnya segala hal yang serba instan. Disaat makanan siap saji tidak bernutrisi dan hanya mendatangkan rugi membanjiri jalan-jalan kota dan pusat perbelanjaan. Si rokok mulai diperhitungkan kehadirannya meskipun belum ada regulasi untuk si “siap saji’. Padahal makanan ini adalah silent killer penyebab meningkatnya angka kesakitan dan kematian akibat penyakit degeneratif.
Penyakit-peyakit degeneratif tersebut tidak hanya menyerang kalangan tua saja, tapi kini usia muda bahkan segala jenis usia bisa terkena. Kategori penyakit yang sangat mahal, sangt sulit untuk bisa kembali normal dan harus mengidap hingga seumur hidup. Bisa dibayangkan, berapa angka yang harus dikeluarkan negara untuk membiayai rakyatnya dengan penyakit-penyakit mahal ini. Bagaimana kualitas bangsa jika rakyatnya yang banyak ini justru tidak mampu berproduksi dan bekerja. Akan banyak keluarga yang terlantar dan anak-anak muda yang tidak bisa berkarya. Maka, masalah pangan bukanlah masalah hari ini saja karena tidak mampu terpenuhinya kebutuhan. Akan tetapi, masalah jangka panjang bahkan kemajuan bangsa.
Sedentary Life
Bagi kaum menengah ke atas, kesibukan membuat dunia ingin serba cepat. Segala fasilitas dipenuhi untuk memanjakan  hajat hidup setiap manusia. Bahkan alasan kesibukan, membuat gaya hidup instan menjadi sebuah trend. Maraknya makanan berkolesterol tinggi, makanan siap saji semakin disukai. Harga yang mahal tidak khawatir demi sebuah harga diri. Tidak sedikit juga yang murah. Bandingkan menjamurnya makanan siap saji yang ada di pinggir jalan. Banyak zat-zat sampah yang tidak dibutuhkan tubuh dan bahkan berbahaya bagi tubuh dinikmati oleh pecinta gaya hidup instan. lemak transfat, natrium yang tinggi, pemanis buatan, menyebabkan melonjaknya angka penderita diabetes mellitus, kardiovaskuler dan stroke. inilah dampak panjang yang dihadapi dari krisisnya pangan.
Selain pangan, air bersih adalah faktor penting dalam menjamin keberlangsungan kehidupan manusia. Sayangnya, banyak mata air yang kita miliki, akan tetapi sejatinya dikuasai oleh pihak asing. Mahalnya harga air bersih, yakni setengah dari harga bensin membuat banyak masyarakat mengkonsumsi air tidak layak minum. Air yang sudah tercemar limbah pabrik, limbah rumah tangga, dan sampah. padahal air adalah sumber utama pencemaran penyakit infeksi.
Mahalnya ongkos sakit
Banyak orang mengabaikan kesehatan. Masalah kesehatan ibarat masalah belakangan. Bahkan orang seringkali kalap ketika sehat, semua makanan yang enak di lidah masuk ke dalam mulut tapi enggan untuk olahraga. Masalah yang dianggap cuek oleh sebagian orang, tetapi saat sakitnya datang barulah mulai terasa penderitaanya. Mulai menyadari adanya masalah yang datang. Ibarat bisul di pantat yang menunggu waktu pecah, tidak terlihat tapi susah untuk duduk, terasa hangat namun perih bahkan tidak enak untuk tidur. Disaat sakit, masyarakat kita harus mengeluarkan uang sendiri untuk membayar pengobatan. Sistem ini disebut pembayaran “out of pocket”. Dari laporan World Health Organization tahun 2006 70% masyarakat Indonesia masih bergantung pada tradisi sistem Out of Pocket, dan hanya 8,4% yang dapat mengikuti sistem pembayaran prabayar/asuransi (WHO: 2009).
Tidak ada yang salah dengan sistem ini memang, selama si sakit sanggup membayar untuk biayanya, dan dokter mau jujur juga berkompeten untuk memberikan pelayanan sesuai kebutuhan pasien. Namun kenyataannya tidak selalu seperti itu, sering sekali pihak pasien, yang dalam hal ini adalah pihak yang kurang tahu tentang permasalahannya sendiri, tidak tahu sakitnya apa, bagaimana pengobatannya, butuh biaya berapa dan sebagainya. Sehingga pengeluaran menjadi membengak. Beda dokter beda diagnosa, beda pula obatnya. Lempar sana lempar sini menjadikan pasien sebagai pihak yang dirugikan.  Ánehnya lagi, dari seluruh uang yang dia  keluarkan, seluruh rumah sakit yang ia kunjungi, ia tidak pernah tahu apa diagnosa yang ditegakkan untuknya. Terhitung 2014, ada biaya gratis bagi si miskin melalui BPJS. Sudah menjadi tradisi dalam sistem kesehatan kita banyak warga yang menjelma dirinya miskin saat membutuhkan pelayanan kesehatan, padahal sehari-harinya mereka memiliki barang mewah di rumah bahkan ada yang mampu memiliki motor bahkan mobil tetapi mengaku dirinya miskin saat berobat ke RS.
Tidak sedikit masyarakat kita awalnya cukup mampu untuk menghidupi diri dan keluarganya dari pekerjaan serabutan, akhirnya jatuh sakit dan menjadi miskin karena seluruh hartanya habis untuk biaya berobat. Sakitnya kemudian tidak kunjung sembuh, malah bertambah parah, utang disana sini, tidak bisa bekerja, dan terus sengsara. Jika si miskin sakit itu artinya semua keluarga sakit. Satu keluarga menunggu pasien sakit di rumah sakit. Keluarga pun ikutan ‘sakit’ ekonominya dan kehidupannya. Sudah jatuh tetimpa tangga, tangganya pun rusak padahal milik tetangga. Dan harus mengganti rugi pula.
Perilaku ini sudah menjadi tradisi. Bagaimana jika sistem pra bayar kesehatan dalam hal ini BPJS yang menggratiskan kesehatan saat sakit mulai diberlakukan secara total. Bukan hal yang tidak mungkin masyarakat kita menganggap remeh perkara sakit dan terlena dengan kesehatan jika usaha-usaha preventif dan kesadaran akan kesehatan tidak digalakkan oleh pemerintah.
Dokter malpraktik
Masyarakat dengan mudah sekali menyalahkan dokter atau pihak rumah sakit jika mereka tidka puas dengan jasanya. Tidak bisa disalahkan dan dibenarkan sepenuhnya. Tapi tidak ingatkah bahwa kita adalah manusia dan jumlah sarana prsarana memiliki keterbatasan. Di inggris, setiap pasien berhak mendapat pelayanan dokter minimal 15 menit. Saat ini dokter puskesmas bahkan melakukan pemeriksaan hanya sekitar lima menit atau kurang. Apakah ini kesalahan dokter? Tidak juga karena pasien lain sudah mengantre bahkan membludak. Sangat jauh dari kata ideal. Ditambah lagi dengan sistem BPJS dimana jika ada orang sakit wajib berkunjung ke puskesmas sebagai pelayanan primer. Tentu menambah membludaknya angka kunjungan pasien ke puskesmas. Sarana boleh ditingkatkan tetapi sumber daya manusianya tetap segitu. Tidak dipungkiri masih butuh banyak dokter yang merata persebarannya di negeri ini. Tapi kita lihat betapa masyarakat saat ini sudah sangat hati-hati dengan dokter. Salah sedikit menuntut. Setiap tahun fakultas kedokteran di Indoensia melahirkan ribuan dokter-dokter baru. Akan tetapi, 35% dari mahasiswa kedokteran tersebut belum lulus mengkuti ujian kompetensi dokter Indonesia. Mengapa banyak dokter yang tidak kompeten?. Karena ternyata akreditasi untuk kedokteran hanya ada 32 dari 72 fakultas kedokteran yang terakreditasi di atas standar. Masih ada 40 FK yang terkareditasi C (di bawah standar) dan ironisnya ada 8 FK yang belum terakreditasi (BAN-PT, Kemdiknas). Laju pertumbuhan penduduk terus meningkat, tetapi jumlah dokter cenderung tetap setiap tahunnya. Jika pemerintah mau meningkatkan kesehtaan Indonesia. Ini adalah poin penting dimana pendidikan dokter juga sangat perlu dipikirkan untuk melahirkan lulusan dokter yang profesional.
mental sakit orang Indonesia
 Perilaku konsumtif dan merasa miskin kini menjadi watak masyarakat kita. Berapa banyak masyarkat kita yang sehari-harinya bergelimang harta tetapi mengaku miskin seketika saat sakit. Padahal masih banyak masyarakat yang benar-benar miskin tetapi belum mendapat bantuan. Masyarakat tidak menyadari bahwa sebenarnya kesehatan kini dalam hidup serba keterbatasan, semua dibatasi. Ingin sedikit berkualitas tetapi pemerintah tidak menanggung. Sistem jaminan memang membuat biaya kesehatan murah tetapi jadi murahan pada akhirnya jika tidak ada persiapan matang dan sumber daya yang belum siap. Mudahnya akses untuk mendapatkan kesehatan ternyata tidak sejalan dengan naluri seorang dokter. Betapa para tenaga medis ini ternyata harus ekstra berhemat untuk melayani pasien. harga satu penyakit sudah dipatok, bagaimana jika pasien mengalami keluhan lain dan membutuhkan obat yang berbeda jika biaya dari pemerintah ternyata tidak mencukupi. Aturan yang berlaku, pasien tidak boleh melakukan kunjungan dua kali dalam sehari kepada dokter spesialis. Bagaimana dengan pasien yang memiliki komplikasi penyakit dan membutuhkan konsultasi spesialis lain. Butuh waktu dua hari untuk berkonsultasi. Tentu memakan biaya, waktu dan tenaga yang dua kali lipat bagi sang pasien yang tergolek sakit. Masih banyak obat yang tidak ditanggung atau peralatan-peralatan untuk bedah yang disediakan hanya kualitas pas-pasan.  Karena dana yang dicakup tidak memenuhi sesuai kaidah kedokteran pada umumnya. Kejadian nyata pasien pasca operasi RS. Dr. Soetomo 2014, pasien harus dilakukan operasi, tetapi biaya dari pemerintah sangat pas-pasan. Alhasil sang dokter harus berhemat benang jahit agar tidak melebihi biaya yang seharusnya. Pasca operasi pasien harus menanggung rasa sakit karena obat analgesik atau obat penghilang rasa nyeri saja tidak dijamin oleh pemerintah saat itu. Belum lagi administrasi yang rumit. Pasien yang harus segera dioperasi harus menunggu adminitrasi online yang terkadang servernya lambat. Apakah ini tanggung jawab dokter untuk menunggu adminitrasi. Dan jika terlambat penanganan apakah ini juga salah dokter. Tetapi pasien hanya bisa menuntut dokter. Terlebih di kabinet yang akan datang akan memberlakukan pidana bagi pihak yang menolak pasien. saya sangat setuju. Pasal 32 dan Pasal 190 UU Kesehatan mengatur, RS atau tenaga kesehatan yang menolak melayani pasien dipidana penjara maksimal dua tahun dan denda paling banyak Rp 200 juta. Jika penolakan itu menyebabkan kematian pasien, maka RS atau tenaga kesehatan dipidana penjara maksimal 10 tahun dan denda paling banyak Rp 1 miliar. Akan tetapi, tidak semua rumah sakit ikut serta dalam program pemerintah. Berapa banyak kerugian yang harus rumah sakit tanggung karena dana dari pemerintah tidak menutupi? Bahkan ada beberapa rumah sakit yang biaya operasionalnya belum dibayar oleh pemeirntah. Karena Pasien tidak boleh ditolak. Tetapi apa dikata jika jumlah kasur sudah tidak tesedia bahkan lorong-lorong penuh dengan pasien dan keluarganya.
Belum lagi beban perawat dan dokter yang harus ekstra tenaga melyananinya. Jumlah pasien membludak, tetapi tenaga medis tetap jumlahnya. Semua ingin segera dilayani. Tanggung jawabnya semakin bertambah tapi dokter masih saja terus disalahkan atau dianggap sebelah mata. Jika pasien tidak mendapatkan pelayanan yang diinginkan. Siapa yang disalahakan? Dokter dan pihak rumah sakit. Sebenarnya dunia kesehatan kita masih menganut ketidakadilan. Adanya sistem kelas atau membedakan qualitas pelayanan berdasarkan kesanggupan untuk membayar yang masih diberlakukan di setiap rumah sakit sampai saat ini. Sesunggguhnya ini sangat bertentangan dengan hak asasi manusia karena Seharusnya setiap orang yang sakit mendapat layanan yang sama, tidak dibedakan. Tetapi nyatanya da pembagian kelas-kelas dalam peraturannya. Si kaya bisa mendapatkan pelayanan kelas mewah dengan  tempat tidur yang tenang, bersih, perawat yang siaga karena punya banyak uang dan si miskin dapet seadanya.
Saat ini pemerintah baru mengalokasikan anggaran kesehatan sebesar tiga persen (Rp 46,459 triliun) dari total anggaran belanja pemerintah (Rp 1.249,943 triliun). Dan ternyata anggaran ini kalah dengan negara-negara berkategori penghasilan rendah di Afrika, seperti Rwanda, Tanzania, dan Liberia, yang berani mengalokasikan dana untuk sektor kesehatan hingga 15% dari APBN-nya. WHO sendiri mematok alokasi anggaran kesehatan setiap negara minimal 15% dari total APBN.  UU No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan sudah tegas mengamanatkan bahwa minimal alokasi anggaran kesehatan 5% dari APBN (WHO, 2010). Inilah salah satu upaya janji kabinet jokowi mendatang dengan meningkatkan anggaran kesehatan menjadi lima persen sehingga akan membutuhkan penambahan anggaran sebanyak Rp 40 triliun. Kalau sudah begini, siapa yang salah? Dalam kontek ini tidak ada yang salah, karena sistem ini kita sendiri yang membuatnya. Yang salah adalah ketika kita tidak mau merubahnya kearah yang lebih baik.
Masyarakat sadar kesehatan
Permasalahan demografi yang mungkin akan melanda seperti bonus demografi pada Indonesia tentunya akan muncul, terutama masalah kesehatan yang telah disebutkan. Penyakit degenerative tentunya akan banyak muncul bahkan melanda kaum muda. Untuk itu di dunia yang serba gadget ini, olahraga dan gaya hidup sehat harus menjadi trend anak muda. Anak muda yang hiudpnya suka dipamerkan, maka pamerkanlah gaya hidup sehat. Lingkungan kita harus turut mendukung gaya hidup sehat, misal pemilihan duta sehat anak muda, lomba sehat, dan terutama untuk menjangkau seluruh lapisan masyarakat, maka pembuatan iklan-iklan yang mengajak pada kesehatan tubuh dan kesehatan lingkungan harus lebih digalakkan. Pemerintah dapat turun serta untuk menggulangi masalah kesehatan dengan e-government, edukasi dengan online, serta memanfaatkan kreativitas anak muda dalam membuat aplikasi edukatif seperti meme comic, dan sebagainya. Iklan rumah sehat, permainan sehat, lingkungan sehat juga bisa jadi merupakan kampanye efektif dalam mengantisipasi perubahan pola kesehatan masyarakat akibat perubahan struktur demografi Indonesia.
Pemerintah pro kesehatan
Peran pemerintah adalah tokoh utama dalam penerapan kebijakan tentang kesehatan. Pemerintah dalam posisi legal berwenang dalam menentukan kebijakan mengenai kesehatan terutama kesehatan lingkungan. Kampanye mengenai gaya hidup tentunya akan lebih efektif dan memiliki legal khusu bila hala ini didukung sepenuhnya oleh pemerintah terutama dalam fungsi penerapan standar kesehatan dan fungsi anggaran. Pembatasan barang impor yang mungkin akan merusak kesehatan juga dapat terkondisikan dengan baik apabila pemerintah secara tegas mentukan batasan dan standar, serta audit barang yang masuk untuk dikonsumsi penduduk Indonesia.
Indonesia baru saja melakukan penggantian pemain-pemain senayan untuk menempati singgasana. Hanya menunggu pembuktian apakah mereka sosok negarawan seperti yang diucapkan atau politisi yang berlindung di balik kosmetik pencitraan. Indonesia hari ini mengalami krisis negarawan diantara berkilaunya politisi instan. Pemimpin politisi menyelesaikan masalah bangsa ini berorientasi jangka pendek, mempertimbangkan keuntungan untuk para pemilik modal dan kelompoknya, khususnya partai ketimbang masyarakat. Plato pernah mengingatkan kita, masalah suatu negara tidak akan pernah berdamai dengan masyarakatnya hingga kekuasaan politik ada pada negarawan sejati. Meskipun kita masih memiliki sosok seorang tokoh yang memiliki jiwa negarawan, namun sistem politik hari ini belum berpihak sepenuhnya dengan mereka. Sampai kapan pun republik  ini tetap akan terperangkap dalam lingkaran masalah yang tiada berujung, sepanjang partai politik di negara ini masih gagal meng­hasilkan negarawan sejati untuk memimpin. Perbedaan mendasar antara negarawan dengan politisi adalah jika negarawan hidup untuk negara, maka politisi negara untuk hidupnya. Janji sudah terlanjur diucapkan. Entah dengan atau tanpa perhitungan. Jangan lagi rakyat yang harus menanggung penderitaan. Lantaran janji yang akan diabaikan. Jika benar begitu apa bedanya kepemimpinan dengan pengkhianatan?
 Para wakil rakyat ini bak supir bus kota yang kita pilih untuk membawa kita ke arah yang kita tuju. Setiap penumpang pasti ingin mencapai tujuan yang diinginkan dengan kondisi selamat dan ongkos yang semestinya sehingga menjadi hak kita untuk menegur sang supir supaya memilih jalan yang lebih bijak.

Kesehatan melalui Kemandirian pangan, air, dan lingkungan adalah hal pokok yang harus diselesaikan untuk kebutuhan mendatang. Jika kemandirian pangan, air, dan lingkungan dapat terwujud, maka bukan hanya menyelesaikan permasalahan hari ini akan tetapi juga membangun kekuatan dan kemajuan bangsa di masa yang akan datang.

_lomba Essai Bonus Demografi_

Tidak ada komentar:

Posting Komentar