Adjie
masaid
Awan hitam menutupi dunia hiburan
Indonesia. Seluruh media masa geger memuat halaman utama kematian aktor Adjie Masaid.
Dijemput maut selepas bermain futsal, bagi kebanyakan orang, adalah adalah hal
yang kontradiktif. Karena olahraga disandingkan dengan gaya hidup sehat, jauh
dari penyakit, dan berumur panjang. Juah dari logika publik, jika seorang
pegiat olahraga menemui ajal di lapangan hijau. Akan tetapi, Adjie masaid
bukanlah kali pertama artis yang mendadak mati usai berolahraga, benyamin sueb,
basuki dan artis-artis lainnya lebih dahulu meninggal seusai bermain bola.
Tentu, beragam cerita pernah didapati disekitar kita seusai aktivitas kemudian
meninggal, atau meninggal tanpa aktivitas dan tanpa gejala apapun. Tentu saja
kesimpulan ini bukanlah ingin menyalahi Takdir yang sudah ditetapkan oleh tuhan,
akan tetapi inilah gambaran sesungguhnya bahwa fenomena di atas adalah gambaran
dari sudden death. Kematian tiba-tiba
karena penyakit kardiovaskuler yang tidak terdeteksi. Fenomena seperti ni
merupakan salah satu potret bangsa ini saat ini. Indonesia sedang di bom oleh
negara adidaya melalui sedentary life
style. Hidup modern ala instan. Atau fenomena dimana saat ini banyak pria
yang gemar nge-gym tapi tetap sering sakit, mudah lelah, dan tidak bugar. Hidup
modern ala instan.
Malnutrisi
“Orang
bilang tanah kita tanah surga, tongkat kayu dan batu jadi tanaman.”
Lagu yang indah, indonesia yang makmur
dan subur. Tapi faktanya, kelaparan masih melanda Indonesia. Kemiskinan adalah cerminan
masyarakat yang belum tertuntaskan. Indonesia sedang mengalami bencana
malnutrisi. Seperti hal yang mustahil. Bagaimana bisa negara agraris tetapi
harus memasok kebutuhan dari negara lain. Ibarat orang asing di negeri sendiri.
Seperti tamu yang masuk ke rumah sendiri dan hanya boleh masuk tanpa harus ikut
campur mengutak-atik segala urusan yang ada di dalam rumah. Seperti itulah gambaran
negeri ini. Banyak aset, banyak kekayaan melimpah, akan tetapi aset itu milik
orang asing, kekayaan itu kini mengalir ke negeri sebelah. Salah satu dampaknya
adalah negeri yang tropis subur makmur ini, masih harus mengimpor bahan pokok
sehari-hari. Dan fenomena yang terjadi adalah double burn malnutrition. Perlu diketahui bahwa malnutrisi bukanlah
hanya kekurangan gizi saja yang di asosiasikan dengan kemiskinan, akan tetapi nutrisi
yang berlebihan dan obesitas. Dikatakan double
burn karena fenomena ini tidak hanya mengena pada masyarakat kelas bawah
saja, akan tetapi juga kelas atas. Atas bawah kena. semua menjadi korban. Apa
yang digelisahkan dari malnutrsi? Bagi si miskin, mahalnya barang pokok
sehari-hari, karena ketidakmampuan dalam negeri memenuhi pangan, membuat gizi
tidak tercukupi. Makan ala kadarnya, yang penting kenyang, atau lebih sering
tidak makan. Hal ini sangat berbahaya bagi ibu hamil dan bayi. Karena 1000 hari
sejak diciptakan, dimulai sejak masa kandungan hingga pasca dilahirkan, adalah
masa yang sangat penting untuk pertumbuhan dan pemenuhan nutrisi. Inilah yang
disebut masa pertumbuhan emas. Guru besar kedokteran UGM, Hadi dkk meneliti
bahwa orang-orang yang nutrisinya tidak tercukupi pada 1000 hari pertama
kehidupan, maka akan menimbulkan pertumbuhan yang lambat, baik dari segi fisik,
kognitif, mengelola emosi dan sosial serta mental dan fungsi-fungsi eksekutif.
Indonesia saat ini menjadi negara pemyumbang orang pendek terbesar kelima
seluruh dunia. Pertumbuhan yang lambat karena kekurangan gizi dipegang
indonesia sebesar 37%. Artinya jika ada 3 orang berjalan dengan usia yang sama,
maka satu diantaranya bertubuh kecil. Pertumbuhan kognitif yang lambat adalah
bomerang. Bagaimana mungkin bangsa ini maju, jika sumber daya yang ada tidak
mampu berpikir cerdas. Selain itu dampak yang ditimbulkan adalah keterbelakangan
mental. Kesehatan mental adalah cerminan jiwa yang sehat, berkhalak baik dan
berprilaku santun. Hadi dkk dalam penelitiannya tahun 2013 sungguh
mencengangkan bahwa orang-orang yang kecilnya tidak mendapat asupan nutrisi
yang cukup, maka setelah tua dan dewasa
akan mudah terkena penyakit-penyakit degeneratif, seperti penyakit jantung,
diabetes dan stroke.
Tetapi sayangnya,
bagaimana memikirkan nutrisi jika untuk menghidupkan tungku-tungku rumah saja
mereka tidak mampu. Jika si balita selalu diberi makan mie instan setiap hari.
Untuk menjaga kesehatan, olahraga sangat diwajibkan. Tetapi, bagaimana orang
mau bermain bola, jika lahan saja sudah tidak ada dan sekarang harus bayar pula
setiap jamnya. Bagaimana orang bisa berolahraga jika si pejalan kaki selalu
kalah dengan motor. Jika trotoar kini menjadi lapak para pedagang bahkan
dijadikan lahan parkir dan jalan untuk si motor. Bagaimana bisa bersepeda jika
ulah si motor selalu egois selip sana selip sini dan tidak peduli si pejalan
hendak menyebrang. Untuk bernapas saja kami masih harus diracuni asap rokok
dimanapun, angkot, bus kota bahkan mushola dan tempat-tempat umum lainnya. Saat
ini banyak masyarakat kita yang berperilaku konsumif. Mengabaikan kesehatan
demi kenikmatan sesaat. Tidak bisa disalahkan jika setiap waktu masyarakat kita
dibanjiri iklan-iklan akan nikmatnya segala hal yang serba instan. Disaat
makanan siap saji tidak bernutrisi dan hanya mendatangkan rugi membanjiri
jalan-jalan kota dan pusat perbelanjaan. Si rokok mulai diperhitungkan
kehadirannya meskipun belum ada regulasi untuk si “siap saji’. Padahal makanan
ini adalah silent killer penyebab
meningkatnya angka kesakitan dan kematian akibat penyakit degeneratif.
Penyakit-peyakit degeneratif tersebut
tidak hanya menyerang kalangan tua saja, tapi kini usia muda bahkan segala
jenis usia bisa terkena. Kategori penyakit yang sangat mahal, sangt sulit untuk
bisa kembali normal dan harus mengidap hingga seumur hidup. Bisa dibayangkan,
berapa angka yang harus dikeluarkan negara untuk membiayai rakyatnya dengan
penyakit-penyakit mahal ini. Bagaimana kualitas bangsa jika rakyatnya yang
banyak ini justru tidak mampu berproduksi dan bekerja. Akan banyak keluarga
yang terlantar dan anak-anak muda yang tidak bisa berkarya. Maka, masalah pangan
bukanlah masalah hari ini saja karena tidak mampu terpenuhinya kebutuhan. Akan
tetapi, masalah jangka panjang bahkan kemajuan bangsa.
Sedentary
Life
Bagi kaum menengah ke atas, kesibukan
membuat dunia ingin serba cepat. Segala fasilitas dipenuhi untuk memanjakan hajat hidup setiap manusia. Bahkan alasan
kesibukan, membuat gaya hidup instan menjadi sebuah trend. Maraknya makanan berkolesterol tinggi, makanan siap saji
semakin disukai. Harga yang mahal tidak khawatir demi sebuah harga diri. Tidak
sedikit juga yang murah. Bandingkan menjamurnya makanan siap saji yang ada di
pinggir jalan. Banyak zat-zat sampah yang tidak dibutuhkan tubuh dan bahkan
berbahaya bagi tubuh dinikmati oleh pecinta gaya hidup instan. lemak transfat, natrium yang tinggi, pemanis
buatan, menyebabkan melonjaknya angka penderita diabetes mellitus,
kardiovaskuler dan stroke. inilah dampak panjang yang dihadapi dari krisisnya
pangan.
Selain pangan, air bersih adalah faktor
penting dalam menjamin keberlangsungan kehidupan manusia. Sayangnya, banyak
mata air yang kita miliki, akan tetapi sejatinya dikuasai oleh pihak asing.
Mahalnya harga air bersih, yakni setengah dari harga bensin membuat banyak
masyarakat mengkonsumsi air tidak layak minum. Air yang sudah tercemar limbah
pabrik, limbah rumah tangga, dan sampah. padahal air adalah sumber utama
pencemaran penyakit infeksi.
Mahalnya ongkos sakit
Banyak
orang mengabaikan kesehatan. Masalah kesehatan ibarat masalah belakangan.
Bahkan orang seringkali kalap ketika sehat, semua makanan yang enak di lidah
masuk ke dalam mulut tapi enggan untuk olahraga. Masalah yang dianggap cuek
oleh sebagian orang, tetapi saat sakitnya datang barulah mulai terasa
penderitaanya. Mulai menyadari adanya masalah yang datang. Ibarat bisul di
pantat yang menunggu waktu pecah, tidak terlihat tapi susah untuk duduk, terasa
hangat namun perih bahkan tidak enak untuk tidur. Disaat sakit, masyarakat kita
harus mengeluarkan uang sendiri untuk membayar pengobatan. Sistem ini disebut
pembayaran “out of pocket”. Dari laporan World Health
Organization tahun 2006 70% masyarakat Indonesia masih bergantung pada tradisi
sistem Out of Pocket, dan
hanya 8,4% yang dapat mengikuti sistem pembayaran prabayar/asuransi (WHO:
2009).
Tidak
ada yang salah dengan sistem ini memang, selama si sakit sanggup membayar untuk
biayanya, dan dokter mau jujur juga berkompeten untuk memberikan pelayanan
sesuai kebutuhan pasien. Namun kenyataannya tidak selalu seperti itu, sering
sekali pihak pasien, yang dalam hal ini adalah pihak yang kurang tahu tentang
permasalahannya sendiri, tidak tahu sakitnya apa, bagaimana pengobatannya,
butuh biaya berapa dan sebagainya. Sehingga pengeluaran menjadi membengak. Beda
dokter beda diagnosa, beda pula obatnya. Lempar sana lempar sini menjadikan
pasien sebagai pihak yang dirugikan.
Ánehnya lagi, dari seluruh uang yang dia
keluarkan, seluruh rumah sakit yang ia kunjungi, ia tidak pernah tahu
apa diagnosa yang ditegakkan untuknya. Terhitung 2014, ada biaya gratis bagi si
miskin melalui BPJS. Sudah menjadi tradisi dalam sistem kesehatan kita banyak warga yang menjelma dirinya miskin
saat membutuhkan pelayanan kesehatan, padahal sehari-harinya mereka memiliki
barang mewah di rumah bahkan ada yang mampu memiliki motor bahkan mobil tetapi
mengaku dirinya miskin saat berobat ke RS.
Tidak
sedikit masyarakat kita awalnya cukup mampu untuk menghidupi diri dan
keluarganya dari pekerjaan serabutan, akhirnya jatuh sakit dan menjadi miskin
karena seluruh hartanya habis untuk biaya berobat. Sakitnya kemudian tidak
kunjung sembuh, malah bertambah parah, utang disana sini, tidak bisa bekerja,
dan terus sengsara. Jika si miskin sakit itu artinya semua keluarga sakit. Satu
keluarga menunggu pasien sakit di rumah sakit. Keluarga pun ikutan ‘sakit’
ekonominya dan kehidupannya. Sudah jatuh tetimpa tangga, tangganya pun rusak
padahal milik tetangga. Dan harus mengganti rugi pula.
Perilaku
ini sudah menjadi tradisi. Bagaimana jika sistem pra bayar kesehatan dalam hal
ini BPJS yang menggratiskan kesehatan saat sakit mulai diberlakukan secara
total. Bukan hal yang tidak mungkin masyarakat kita menganggap remeh perkara
sakit dan terlena dengan kesehatan jika usaha-usaha preventif dan kesadaran
akan kesehatan tidak digalakkan oleh pemerintah.
Dokter malpraktik
Masyarakat dengan mudah
sekali menyalahkan dokter atau pihak rumah sakit jika mereka tidka puas dengan
jasanya. Tidak bisa disalahkan dan dibenarkan sepenuhnya. Tapi tidak ingatkah
bahwa kita adalah manusia dan jumlah sarana prsarana memiliki keterbatasan. Di
inggris, setiap pasien berhak mendapat pelayanan dokter minimal 15 menit. Saat
ini dokter puskesmas bahkan melakukan pemeriksaan hanya sekitar lima menit atau
kurang. Apakah ini kesalahan dokter? Tidak juga karena pasien lain sudah
mengantre bahkan membludak. Sangat jauh dari kata ideal. Ditambah lagi dengan
sistem BPJS dimana jika ada orang sakit wajib berkunjung ke puskesmas sebagai
pelayanan primer. Tentu menambah membludaknya angka kunjungan pasien ke
puskesmas. Sarana boleh ditingkatkan tetapi sumber daya manusianya tetap
segitu. Tidak dipungkiri masih butuh banyak dokter yang merata persebarannya di
negeri ini. Tapi kita lihat betapa masyarakat saat ini sudah sangat hati-hati
dengan dokter. Salah sedikit menuntut. Setiap tahun fakultas kedokteran di
Indoensia melahirkan ribuan dokter-dokter baru. Akan tetapi, 35% dari mahasiswa
kedokteran tersebut belum lulus mengkuti ujian kompetensi dokter Indonesia.
Mengapa banyak dokter yang tidak kompeten?. Karena ternyata akreditasi untuk
kedokteran hanya ada 32 dari 72 fakultas kedokteran yang terakreditasi di atas
standar. Masih ada 40 FK yang terkareditasi C (di bawah standar) dan ironisnya
ada 8 FK yang belum terakreditasi (BAN-PT, Kemdiknas). Laju pertumbuhan
penduduk terus meningkat, tetapi jumlah dokter cenderung tetap setiap tahunnya.
Jika pemerintah mau meningkatkan kesehtaan Indonesia. Ini adalah poin penting
dimana pendidikan dokter juga sangat perlu dipikirkan untuk melahirkan lulusan
dokter yang profesional.
mental sakit orang Indonesia
Perilaku konsumtif dan merasa miskin kini
menjadi watak masyarakat kita. Berapa banyak masyarkat kita yang sehari-harinya
bergelimang harta tetapi mengaku miskin seketika saat sakit. Padahal masih
banyak masyarakat yang benar-benar miskin tetapi belum mendapat bantuan.
Masyarakat tidak menyadari bahwa sebenarnya kesehatan kini dalam hidup serba
keterbatasan, semua dibatasi. Ingin sedikit berkualitas tetapi pemerintah tidak
menanggung. Sistem jaminan memang membuat biaya kesehatan murah tetapi jadi
murahan pada akhirnya jika tidak ada persiapan matang dan sumber daya yang
belum siap. Mudahnya akses untuk mendapatkan kesehatan ternyata tidak sejalan
dengan naluri seorang dokter. Betapa para tenaga medis ini ternyata harus
ekstra berhemat untuk melayani pasien. harga satu penyakit sudah dipatok,
bagaimana jika pasien mengalami keluhan lain dan membutuhkan obat yang berbeda
jika biaya dari pemerintah ternyata tidak mencukupi. Aturan yang berlaku,
pasien tidak boleh melakukan kunjungan dua kali dalam sehari kepada dokter
spesialis. Bagaimana dengan pasien yang memiliki komplikasi penyakit dan
membutuhkan konsultasi spesialis lain. Butuh waktu dua hari untuk
berkonsultasi. Tentu memakan biaya, waktu dan tenaga yang dua kali lipat bagi
sang pasien yang tergolek sakit. Masih banyak obat yang tidak ditanggung atau
peralatan-peralatan untuk bedah yang disediakan hanya kualitas pas-pasan. Karena dana yang dicakup tidak memenuhi
sesuai kaidah kedokteran pada umumnya. Kejadian nyata pasien pasca operasi RS.
Dr. Soetomo 2014, pasien harus dilakukan operasi, tetapi biaya dari pemerintah
sangat pas-pasan. Alhasil sang dokter harus berhemat benang jahit agar tidak
melebihi biaya yang seharusnya. Pasca operasi pasien harus menanggung rasa
sakit karena obat analgesik atau obat penghilang rasa nyeri saja tidak dijamin
oleh pemerintah saat itu. Belum lagi administrasi yang rumit. Pasien yang harus
segera dioperasi harus menunggu adminitrasi online yang terkadang servernya
lambat. Apakah ini tanggung jawab dokter untuk menunggu adminitrasi. Dan jika
terlambat penanganan apakah ini juga salah dokter. Tetapi pasien hanya bisa
menuntut dokter. Terlebih di kabinet yang akan datang akan memberlakukan pidana
bagi pihak yang menolak pasien. saya sangat setuju. Pasal 32 dan Pasal 190 UU
Kesehatan mengatur, RS atau tenaga kesehatan yang menolak melayani pasien
dipidana penjara maksimal dua tahun dan denda paling banyak Rp 200 juta. Jika
penolakan itu menyebabkan kematian pasien, maka RS atau tenaga kesehatan
dipidana penjara maksimal 10 tahun dan denda paling banyak Rp 1 miliar. Akan
tetapi, tidak semua rumah sakit ikut serta dalam program pemerintah. Berapa
banyak kerugian yang harus rumah sakit tanggung karena dana dari pemerintah
tidak menutupi? Bahkan ada beberapa rumah sakit yang biaya operasionalnya belum
dibayar oleh pemeirntah. Karena Pasien tidak boleh ditolak. Tetapi apa dikata
jika jumlah kasur sudah tidak tesedia bahkan lorong-lorong penuh dengan pasien
dan keluarganya.
Belum lagi beban
perawat dan dokter yang harus ekstra tenaga melyananinya. Jumlah pasien
membludak, tetapi tenaga medis tetap jumlahnya. Semua ingin segera dilayani.
Tanggung jawabnya semakin bertambah tapi dokter masih saja terus disalahkan
atau dianggap sebelah mata. Jika pasien tidak mendapatkan pelayanan yang diinginkan.
Siapa yang disalahakan? Dokter dan pihak rumah sakit. Sebenarnya dunia
kesehatan kita masih menganut ketidakadilan. Adanya sistem kelas atau
membedakan qualitas pelayanan berdasarkan kesanggupan untuk membayar yang masih
diberlakukan di setiap rumah sakit sampai saat ini. Sesunggguhnya ini sangat
bertentangan dengan hak asasi manusia karena Seharusnya setiap orang yang sakit
mendapat layanan yang sama, tidak dibedakan. Tetapi nyatanya da pembagian
kelas-kelas dalam peraturannya. Si kaya bisa mendapatkan pelayanan kelas mewah
dengan tempat tidur yang tenang, bersih,
perawat yang siaga karena punya banyak uang dan si miskin dapet seadanya.
Saat ini pemerintah
baru mengalokasikan anggaran kesehatan sebesar tiga persen (Rp 46,459 triliun)
dari total anggaran belanja pemerintah (Rp 1.249,943 triliun). Dan ternyata
anggaran ini kalah dengan negara-negara berkategori penghasilan rendah di
Afrika, seperti Rwanda, Tanzania, dan Liberia, yang berani mengalokasikan dana
untuk sektor kesehatan hingga 15% dari APBN-nya. WHO sendiri mematok alokasi
anggaran kesehatan setiap negara minimal 15% dari total APBN. UU No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
sudah tegas mengamanatkan bahwa minimal alokasi anggaran kesehatan 5% dari APBN
(WHO, 2010). Inilah salah satu upaya janji kabinet jokowi mendatang dengan
meningkatkan anggaran kesehatan menjadi lima persen sehingga akan membutuhkan
penambahan anggaran sebanyak Rp 40 triliun. Kalau sudah begini, siapa yang
salah? Dalam kontek ini tidak ada yang salah, karena sistem ini kita sendiri
yang membuatnya. Yang salah adalah ketika kita tidak mau merubahnya kearah yang
lebih baik.
Masyarakat sadar kesehatan
Permasalahan demografi
yang mungkin akan melanda seperti bonus demografi pada Indonesia tentunya akan
muncul, terutama masalah kesehatan yang telah disebutkan. Penyakit degenerative
tentunya akan banyak muncul bahkan melanda kaum muda. Untuk itu di dunia yang
serba gadget ini, olahraga dan gaya hidup sehat harus menjadi trend anak muda.
Anak muda yang hiudpnya suka dipamerkan, maka pamerkanlah gaya hidup sehat. Lingkungan
kita harus turut mendukung gaya hidup sehat, misal pemilihan duta sehat anak
muda, lomba sehat, dan terutama untuk menjangkau seluruh lapisan masyarakat,
maka pembuatan iklan-iklan yang mengajak pada kesehatan tubuh dan kesehatan
lingkungan harus lebih digalakkan. Pemerintah dapat turun serta untuk
menggulangi masalah kesehatan dengan e-government, edukasi dengan online, serta
memanfaatkan kreativitas anak muda dalam membuat aplikasi edukatif seperti meme
comic, dan sebagainya. Iklan rumah sehat, permainan sehat, lingkungan sehat
juga bisa jadi merupakan kampanye efektif dalam mengantisipasi perubahan pola
kesehatan masyarakat akibat perubahan struktur demografi Indonesia.
Pemerintah pro kesehatan
Peran pemerintah adalah tokoh utama
dalam penerapan kebijakan tentang kesehatan. Pemerintah dalam posisi legal
berwenang dalam menentukan kebijakan mengenai kesehatan terutama kesehatan
lingkungan. Kampanye mengenai gaya hidup tentunya akan lebih efektif dan
memiliki legal khusu bila hala ini didukung sepenuhnya oleh pemerintah terutama
dalam fungsi penerapan standar kesehatan dan fungsi anggaran. Pembatasan barang
impor yang mungkin akan merusak kesehatan juga dapat terkondisikan dengan baik
apabila pemerintah secara tegas mentukan batasan dan standar, serta audit
barang yang masuk untuk dikonsumsi penduduk Indonesia.
Indonesia baru saja melakukan
penggantian pemain-pemain senayan untuk menempati singgasana. Hanya menunggu
pembuktian apakah mereka sosok negarawan seperti yang diucapkan atau politisi
yang berlindung di balik kosmetik pencitraan. Indonesia hari ini mengalami
krisis negarawan diantara berkilaunya politisi instan. Pemimpin
politisi menyelesaikan masalah bangsa ini berorientasi jangka pendek, mempertimbangkan
keuntungan untuk para pemilik modal dan kelompoknya, khususnya partai ketimbang
masyarakat. Plato pernah mengingatkan kita, masalah suatu negara tidak akan
pernah berdamai dengan masyarakatnya hingga kekuasaan politik ada pada
negarawan sejati. Meskipun kita masih memiliki sosok seorang tokoh yang
memiliki jiwa negarawan, namun sistem politik hari ini belum berpihak
sepenuhnya dengan mereka. Sampai kapan pun republik ini tetap akan terperangkap dalam lingkaran
masalah yang tiada berujung, sepanjang partai politik di negara ini masih gagal
menghasilkan negarawan sejati untuk memimpin. Perbedaan
mendasar antara negarawan dengan politisi adalah jika negarawan hidup untuk
negara, maka politisi negara untuk hidupnya. Janji sudah terlanjur diucapkan.
Entah dengan atau tanpa perhitungan. Jangan lagi rakyat yang harus menanggung
penderitaan. Lantaran janji yang akan diabaikan. Jika benar begitu apa bedanya
kepemimpinan dengan pengkhianatan?
Para wakil
rakyat ini bak supir bus kota yang kita pilih untuk membawa kita ke arah yang
kita tuju. Setiap penumpang pasti ingin mencapai tujuan yang diinginkan dengan
kondisi selamat dan ongkos yang semestinya sehingga menjadi hak kita untuk
menegur sang supir supaya memilih jalan yang lebih bijak.
Kesehatan melalui Kemandirian
pangan, air, dan lingkungan adalah hal pokok yang harus diselesaikan untuk
kebutuhan mendatang. Jika kemandirian pangan, air, dan lingkungan dapat
terwujud, maka bukan hanya menyelesaikan permasalahan hari ini akan tetapi juga
membangun kekuatan dan kemajuan bangsa di masa yang akan datang.
_lomba Essai Bonus Demografi_
_lomba Essai Bonus Demografi_
Tidak ada komentar:
Posting Komentar